CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 13 November 2013

Ham and Cheese Bagels

  Apa yang terbersit dalam pikir perkara one night stand?, yang dalam budaya populer masa-masa ini sering dikata cinta satu malam. Ah, bagi teman-teman Bastian tentu saja satu malam adalah beberapa jam yang hanya berisi tentang persetubuhan. Semata hanya tentang seks. Bastian tentu tertawa cekikik. Memang benar teman-temannya itu. Namun, satu malam baginya adalah pertemuan kali pertamanya dengan Adrian. Pria misterius yang gemar membuat sebuah kejutan-kejutan dalam bentuk sebuah perjamuan.
  Malam itu adalah kali kedua mereka bertemu, Bastian dengan Adrian. Sebelumnya tentu Bastian tak pernah mengira akan ada pertemuan kedua. Adrian tipikal lelaki komersial secara fisik dan materi, yang pastinya banyak digilai orang-orang, perempuan maupun laki-laki pecinta laki-laki. Tubuhnya tinggi 180 sentimeter, dengan tubuh berisi dan rambut-rambut halus yang tersebar di dagunya. Kulitnya kuning bersih, dan ada satu hal lagi yang baru Bastian ketahui di pertemuan kedua ini.
  Laki-laki itu mengajaknya bertemu di restaurant pada sebuah hotel berbintang lima. Tempat yang diluar kebiasaan dari Bastian, tentunya itu adalah sebuah tempat yang mewah dan istimewa. Setidaknya itulah yang segera menjamur di benak-benaknya setelah pria itu mengajakanya bertemu disana. Mendekati jam bertemu, Bastian sudah terduduk di sebuah kursi di sudut ruangan. Dia sedikit terperangah, dia suka interior dari tempat makan itu. Memang mewah. Memang istimewa. Namun mewah yang tanpa secara terang-terangan ingin mempertontonkan kemewahannya. Tak ada warna emas, hampir tak ada warna yang mencolok mata, yang ada hanyalah paduan sapuan warna coklat tua dan biru tua. Menelanjangi ruas-ruas tiap sudut ruangannya, dia jadi teringat sosok Adrian. Pria itu tak kunjung datang. Akhirnya, ia putuskan membuka buku yang terselip di dalam tasnya, sembari menunggu.
  “Hei, maaf menunggu lama,” suara seorang pria menerobos masuk ke dalam telinga Bastian. Sudah setengah jam dia asik menelanjangi lembar-lembar kertas yang ia genggam. Di meja belum terlihat makanan maupun kudapan apapun, hanya segelas bening berisi air putih. “Serius amat. Hehe.”
  Di hadapan Bastian berdiri sosok pria yang ia tunggu. Tapi, dia sedikit tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan tempatnya terduduk. Pasalnya, kalau memang hanya berniat bertemu dengannya di restaurant ini, pria di depannya itu tak perlu memakai kostum putih-putih dengan appron tergantung yang seperti sekarang ia pakai. Terbilang berlebihan, kecuali memang…
  “Welcome to my office. I mean, my kitchen, maybe..” ucap Adrian penuh semangat. Belum sempat Bastian melempar kata-kata, pria itu sudah menghujaninya dengan kejutan konyol seperti yang dilihatnya barusan.
  Sejujurnya Bastian merasa sedikit kaget melihat pengakuan Adrian tersebut, tapi dia berusaha untuk tidak terlihat merasa seperti itu. Perasaan kaget biasanya hanya membuat dia kikuk dan sisi pemalunya menjalar keluar. Hingga ia lebih memutuskan untuk menyimpan rasa kagetnya.
  “Pantesan di rak buku kamu kemarin banyak buku-buku masakan. Ternyata benar seorang chef,” ucap Bastian dengan nada mengejek.
  “Haha..sudah mengira sebelumnya kalau saya chef?” Adrian terkekeh.
  “Tak sepenuhnya. Perawakan tubuhmu lebih cocok punya profesi orang bisnis.” Bastian.
  “Hmm..bisa begitu, ya?” Adrian mengernyitkan dahinya.
  “Lebih tepatnya, om-om tambun perut bunci kaya raya yang punya bisnis sukses. Haha..” ejek Bastian kemudian disusul keduanya tertawa cekikik sebentar.
  “Dasar..” Adrian menyudahi tawanya. “Kamu tak apa menunggu saya sebentar disini?. Jam kerja saya sepertinya bertambah karena ada suatu hal.”
  “Tergantung..” ujar Bastian, Adrian menatapnya kembali dengan mimik wajah tanda tanya bercampur kecewa.
  “Maaf, deh. Nanti saya bikin menu spesial buat kamu.”
  “Buat sogokan?”
  “Tentu bukan. Tentunya buat permintaan maaf sudah mau menunggu lama. Hehe,” Adrian terkekeh. “Apa masih bakal ada tergantung?”
  “Hahahahaha” Bastian menjawab tanpa kata-kata. Dia hanya tertawa menanggapi pria itu.
***
  “Masih hubungan sama sex buddy one night stand itu kamu, Yan?” tanya Bisma, teman dekat Bastian. Siang itu mereka janjian bertemu di sebuah kedai kopi langganan mereka. Laki-laki betubuh subur itu segera saja menyeletuk ketika melihat pandangan Bastian tak bisa lepas dari layar ponselnya.
  “Eits, sex buddy yang mana lagi, nih?. Yang pramugara maskapai burung-burungan itu?, apa yang sukanya main di dalam mobil?. Haha,” celetuk Aryo tiba-tiba. Laki-laki ini juga teman dekat Bastian dan Bisma. “Dasar lacur,” tawa keduanya bergemuruh seketika.
  “Haha. Masih, enggak tau nih, tumben aja ada yang masih baik-baikan minta ketemu lagi. Biasanya pada sok-sokan langsung hilang,” terang Bastian. Pandangannya masih terpaku di layar ponselnya.
  “Halah..palingan juga tiap ketemu mintanya seks mulu,” Bisma sinis. Sahabatnya yang satu ini memang gemar mengucap kata-kata kasar. Bukan karena memang pada dasarnya dia termasuk orang yang sinis akan segala sesuatu. Tapi, perkara laki-laki yang dekat dengan Bastian, pasti komentarnya tak pernah berubah. Semua ditanggapinya dengan sinis, karena menurutnya mereka semua patut diperlakukan seperti itu. Terlebih pada yang tiba-tiba suka menghilang.
  “Semalem tumben aja enggak ada adegan begituan. Hehe,” Bastian terkekeh. Dia mulai mengedar pandang ke arah dua sahabatnya, setelah sebelumnya menyudahi keterpakuannya pada ponselnya.
  “Semalem kalian ketemu lagi?” Aryo berucap meyakinkan dirinya. “Dan enggak ada adegan begituan?. Bukan Bastian banget, deh kayanya.”
  Bastian menghembuskan nafasnya. Hanya menimpalinya dengan hembusan-hembusan udara dari kedua lubang hidungnya.
  “Coba sini aku lihat orangnya,” sergah Bisma yang tetiba begitu saja menyambar ponsel Bastian yang tergeletak di meja. Kedua matanya yang terbingkai kacamata terbelalak seketika, dahinya berkerut, alisnya menyambung. “Seriusan orang ini?”
  Bastian kontan menyambung keterbelalakan Bisma dengan gerakan-gerakan yang serupa dilakukan sahabatnya itu. Dia mengangguk perlahan.
  “Bentar…bentar…dia yang chef itu bukan?. Cowok yang sok-sok misterius, tapi tetep aja banyak yang gila sama dia,” Bisma menyemburkan cercahannya, seakan dia tau tentang pria itu, Adrian. “Yang kalau menginap di tempat dia tinggal. Tiap pagi dia pasti nyiapin Ham and Cheese Bagels buat sarapan kalian berdua?” tambahnya.
  “Kok kamu bisa tau banyak, Bis?” sambung Aryo seketika dengan perasaan herannya. “Pernah sempat deket sama dia, emang?.”
  Bastian diam termangu sembari masih menyimpan keheranan di dalam dirinya. Lagi-lagi dia tetap bergeming. Tanpa suara dan hanya mengangguk perlahan ke arah sahabatnya yang bertubuh subur itu.
  “Dia mantan gebetan..”
  “Mantan gebetan?” Aryo segera memotong. Bisma segera saja membelalakkan kedua matanya ke arah sahabatnya itu, ekspresinya menggertak karena memotong ucapannya yang belum selesai.
  “Mantan gebetan dari mantanku. Pernah sekali ketemu. Itupun enggak sengaja. Dan memang cakepnya nggak ketulungan, tapi ngebosenin. Tipikal cowok cakep bertampang komersial kebanyakan,” Bisma kembali meneruskan ucapannya yang terpotong.
  “Beneran ngebosenin, apa emosi gara-gara mantan gebetannya mantan kamu?. Hihi,” celetuk Aryo mengejek.
  Bastian meraih gelas plastik berisi ice chocolate di dalamnya. Meneguknya melalui pipa kecil sedotan berwarna hijau tua. Sekedar untuk membasahi kerongkongannya, menghujani rasa kagetnya untuk sementara. Lalu ia letakkan kembali gelas itu ditempat semula. “Memang sejujurnya cukup ngebosenin.”
  “Terus apalagi yang kamu tau, Bis?” tanya Bastian perlahan. Ucapannya bernada getir dan hambar. Tak berasa, beriringan dengan sedikit kecamuk rasa di dalam dirinya.
  “Udah, hanya itu saja. Menurutku, lambat laun juga bakalan suka hilang enggak jelas gitu, sih, Yan,” ucap Bisma enteng.
  “Oh…”
  “Tapi, ya udahlah. Boys will be boys. Aku yakin, kamu punya pilihan yang benar untuk memperlakukan pria itu seperti apa. You’re a bitch otodidak. Haha,” Bisma terkekeh. Sahabatnya itu memang terkesan orang yang judgemental, tapi saat cercahannya mengerucut di ujung cerita, segalanya seakan musnah tak bersisa.
  “Apa, sih,” sergah Bastian menimpali. “Balik, yuk. Nanti duit yang ku pinjam, aku ganti secepatnya ya, Yo. Ini kayanya dompet beneran ketinggalan di tempat si Adrian.”
  “Semalem nginap di tempat dia?” Aryo.
  Bastian mengangguk. “Kunci kamarnya aku bawa. Kayanya habis ini mau balik ambil dompet disana, terus balik ke rumah.”
  “Kenapa mendadak jadi lesu gitu, sih?” Bisma tergelitik melihat gelagat sahabatnya itu yang kini terkesan aneh. Nada bicara Bastian berubah pelan, cenderung tak berasa apapun, selain getir.
  “Enggak papa, Bis. Udah yuk, balik,” tutup Bastian pelan.
***
  Seminggu setelah mereka bertiga bertemu di kedai kopi langganan itu, Bastian mulai menyelidik diri sendiri lagi dalam kesendirian. Bocah laki-laki itu mungkin memang terbilang lacur seperti kata teman-teman dekatnya, tapi perkara laki-laki, labirin hatinya terkadang perlahan terusik walau mereka-mereka yang datang terkadang hanya bertopeng perihal persetubuhan. Dia lelah, bukan karena kesenangan persetubuhan, hanya lelah labirinnya begitu mudah ditembus.
  Seminggu ini juga Adrian tak kunjung pergi meneleponnya, meskipun Bastian ingin menyendiri sejenak, dia tak juga mematikan ponselnya. Ada sedikit perasaan senang tentunya, dibaliknya tentu ada perasaan sendu yang ditopenginya dengan mencari kesibukan. Seminggu ini dia begitu menikmati dirinya sendiri, sambil sesekali masih menyesap tubuh-tubuh yang lain yang rindu persetubuhan. Boys will be boys, Bastian will be Bastian.
  Siang itu dihari kedelepan, dia mengasingkan diri di sebuah kedai kopi langganan seperti biasanya. Sekedar untuk membaca buku dan menyelesaikan tulisannya untuk kerja paruh waktunya sebagai kontributor di sebuah majalah.  Pikirannya tentang Adrian hanya tinggal selembar kertas, tapi relung hatinya masih dibubuhi oleh sosok lelaki itu. Bangsat benar memang koki itu, pasti sudah ditambahinya bumbu-bumbu racun magis di sekujur tubuh masakan yang telah dilahap Bastian kemarin. Siang itu dia sendiri, sampai pada satu titik ada seseorang memperhatikannya dari kejauhan.
   “Chocolate cream chips, and free one glass ice chocolate signature,” ujar Barista di kedai kopi itu saat pesanan minuman Bastian sudah jadi. Barista laki-laki itu mencodongkan dua gelas plastik bening ke arah Bastian berdiri di ujung meja.
  “Free ice chocolate signature?. Tadi saya sebelumnya beli chocolate cream chips, tapi enggak dikasih free satu gelas itu?” Bastian merajuk.
  “Hmmm..anu…” Laki-laki Barista itu kebingungan menjawab. “Compliment dari mas Adrian, Mas.”
  “Compliment?. Adrian?, maaf maksud mas-nya Adrian siapa?”
  “Dia dulu store manager disini. Sekarang…itu dia lagi duduk di kursi pojokan no smoking area,” terang si Barista sembari mencondongkan wajahnya ke arah laki-laki tinggi besar sedang terduduk di kursi pojokan.
  “Oh, thank you, ya, mas,” Bastian segera meraih dua gelas minuman coklat itu, menghela nafasnya, dan disambungnya berjalan ke arah laki-laki yang ditunjuk oleh si Barista tadi. Dia menaruh dua gelas itu di meja, duduk tepat di depan lelaki itu, di depan Adrian.
  “Repot amat ngasih compliment segala. Mentang-mentang dulu ternyata pernah jadi store manager disini?. Haha,” ledek Bastian. Nada bicaranya dia buat senormal mungkin.
  “Compliment buat orang yang mendadak hilang. Untung nggak sampai masukin berita orang hilang di koran,” sambung ledek Adrian tak mau kalah.
  “Idih, lebay. Haha,”
  “Tulisan udah beres?. Udah seminggu kamu minta nggak diganggu dulu,” Adrian menyeletuk, sembari menunjukkan secarik kertas kecil yang tadi ia simpan di saku celananya. “Ini catatan kecil yang kamu tinggalin di tempatku saya balikin ke kamu,”
  “Astaga..masih disimpan coba?. Banyak-banyakin sampah di bumi aja. Haha,” Bastian terperangah.
  “Itu khan pesan. Kalau dibuang takutnya lupa. Jadi saya simpan sampai umurnya habis seminggu. Sesuai yang kamu tulis khan?. Seminggu nggak mau diganggu.”
  Skak mat. Bastian serasa tak tahu harus menimpalinya dengan kata-kata apalagi. Dia bungkam, segera mengisinya dengan menyeruput segelas minuman yang ia pesan tadi. Laki-laki itu tak sedikitpun mengaburkan pandangannya menelanjangi Bastian. Kedua mata yang terbingkai kacamata berbingkai hitam yang melekat di depannya, membuat bocah laki-laki yang duduk di depannya tak hanya bungkam di bibirnya, gelagatnya seakan beku tak tau harus berbuat apa.
  “Tulisan udah beras belum?. Temani saya jalan-jalan, donk,” rintih laki-laki itu manja.
  “Hmm..belum sepenuhnya selesai, ada beberapa yang masih mau saya edit,” jawab Bastian. Berbohong.
  “Ya, sudah. Kalau begitu saya tunggu kamu sampai selesai.”
  “Hah?. Mungkin bakal masih lama disini, Adrian.”
  “Sampai kamu selesai,” tutupnya pendek.
  Benar saja dua jam setelah itu Bastian baru benar-benar menyelesaikan tulisannya. Atau, lebih tepatnya baru saja dua jam setelah itu, dia benar-benar menyelesaikan pekerjaannya mengulur waktu hingga laki-laki yang menunggunya bosan dan berangsur pergi dari kedai itu. Nyatanya, lelaki itu memang berangsur pergi, tapi hanya untuk pergi ke kamar kecil dan lalu kembali ke kursinya semula. Dari kejauhan, Bastian menelisik diam-diam gelagat laki-laki itu sembari dia memasang gelagat sibuk di depan laptopnya. Hingga dia menyerah, pandangannya bubrah berkaca pada laptop berjam-jam lamanya.  Dua jam itu dijalaninya dengan sia-sia. Dan dengan sedikit terpaksa menjadi gundik untuk laki-laki itu.
  “Diam terus. Ngobrol dong, Bastian,” sergah Adrian dibalik meja kemudinya. Sepanjang perjalanan selepas dari kedai kopi itu, Bastian memang lebih banyak diam. Membuka mulutnya pun hanya menyembulkan kata-kata pendek yang lama kelamaan membuat laki-laki itu bosan.
  “Hari ini libur kerja, kah?” ucap Bastian sedikit ragu.
  “Silly question. Enggak mau jawab,”
  “Hmm…mau kemana kita sekarang?”
  “Masih silly question. Saya yang minta kamu temani jalan. Sudah kamu nurut saja mau saya bawa kemana. Haha,” Adrian terkekeh.
  “Terus, apa yang nggak termasuk silly question?”
  “Entah, ngobrol apa gitu, lah..”
  “Hmm…” Bastian bergumam perlahan. Dia tak tau mau membuat obrolan apa lagi dengan laki-laki itu. Yang ada dipikirannya, kalau dia ingin nekat, dia ingin membuat obrolan yang terkesan menyelidik tentang diri laki-laki itu. Buah obrolannya dengan sahabat-sahabatnya kemarin. “Hmm…saya mau dibikinin Ham and Cheese Bagels lagi, dong?”
  “Hah?. Ham and Cheese Bagels?. Kamu suka sama makanan itu?” Adrian tetiba terbelalak.
  “Suka banget, sih enggak. Buat sarapan bikin kenyang banget. Bikinan kamu rasa-rasanya yang paling enak yang pernah saya makan,”
  “Paling enak?. Emang sebelumnya pernah makan dimana?”
  “Hehe belum pernah makan dimanapun. Baru pertama kali yang kamu bikinin kemarin,” Bastian terkekeh.
  “Lah…begooo. Haha,” tawa Adrian meledak sebentar. Lalu dicondongkannya wajahnya ke arah bocah laki-laki di sebelahnya. Sebaliknya, Bastian sedari tadi hanya melihat ke arah depan, sesekali hanya melihat ke arah jalanan yang berhambur cepat di sisi kirinya. Tak pernah sekalipun memandang ke arah Adrian sejak semula tadi.
  “Udah sering banget bikin itu sepertinya?” celetuk Bastian lagi.
  “Hah?. Yaa…lumayan sering..” Adrian menjawabnya ngambang. Seolah ingin menjawab antara iya dan tidak.
  “Ohh….”
  “Yaaa…”
  Hanya sebuah keheningan yang kemudian menyergap keduanya. Bastian tak tau harus melempar kata-kata apalagi. Sebaliknya, Adrian seperti sudah terbiasa dengan kebekuan yang terjadi diantara keduanya hari itu. Sepanjang perjalanan sesudahnya, Adrian hanya mencuri-curi bayangan Bastian dari meja kemudinya. Sementara Bastian, menggelepar tidur di setengah perjalanan mereka berdua itu.
   Mereka berhenti persis di depan bangunan yang sudah tak asing lagi bagi keduanya. Sebuah bangunan yang Bastian tinggalkan seminggu yang lalu. Sebuah tempat yang ia tinggali pesan seminggu yang lalu. Sebuah bilik tempat dimana dia bertemu untuk kali pertama dengan laki-laki yang duduk disampingnya itu. Ada sedikit hasrat untuk tak ingin kembali di tempat ini, namun entah tak tau berasal darimana, ada juga sedikit hasrat untuk tidak ingin terlalu menggubris apa yang sedang terjadi dan akan terjadi. Mereka tak sekedar berhenti, keduanya memasuki kembali bilik kamar tersebut. Berdua.
  Adrian memutar pintu kamarnya. Mengaktifkan perintah kunci pada pintu tersebut. Keduanya sudah di dalam kamar itu lagi. Adrian berangsur mengunci kembali apa yang ingin ia tutup untuk dirinya sendiri. Dia memeluk erat bocah laki-laki yang belum berjalan masuk lebih dalam kamar itu kemudian. Memeluknya erat, seolah bocah laki-laki itu tak bertulang yang mampu digeretak pecah keluar. Bastian segera saja bergeming, kedua matanya teduh tak berkedip melihat manusia di depannya itu. Dia tak bisa berbuat apapun, tak bisa dan tak ingin yang perlahan menjelma menjadi sebuah keinginan yang tidak ingin ia ketahui. Adrian bisa saja memutar kunci untuk merekatkan apa yang ia inginkan. Dan laki-laki itu juga bisa saja mulai membuka segalanya pada senja di hari kedelapan yang berangsur ditangkap oleh petang hari, dimana Bastian mengerti bahwa laki-laki memang akan menjadi laki-laki, sampai kapanpun. Dan tak ada yang lebih rumit bagi laki-laki untuk mengerti apa itu kasih, apa itu yang kebanyakan lalu disebut cinta.
***
  “Ham and cheese Bagels. Have a nice breakfast, Sayang,” pagi-pagi pukul setengah tujuh suara Adrian sudah menggema di meja makan tempatnya tinggal. Bastian masih terduduk lesu di meja itu. Matanya masih sembab, piyama masih berciuman dengan tubuhnya.
  “Terima kasih, Sayang,” bocah laki-laki itu mengusap-usap kedua matanya, titik-titik air hasil cuci muka masih berceceran di julur-julur kulit mukanya. Dia masih berusaha mengembalikan nyawanya yang belum sepenuhnya genap. “Lagi-lagi makanan ini, lagi-lagi makanan ini, kamu kenapa gemar sekali membuat makanan ini buatku, dan…laki-laki yang dulu pernah dekat sama kamu, Sayang?”
  “Haha..pertanyaan bodoh. Usiamu sudah lebih dewasa dua tahun dari pertama kita bertemu, tapi masih saja sering bertanya pertanyaan-pertanyaan bodoh,” Adrian terkekeh.
  “Bukan pertanyaan bodoh. I mean, hampir dua tahun kita benar-benar pacaran, saya nggak pernah tau kenapa tiap pagi kamu sering bikinin Ham and Cheese Bagels?”
  “Kamu pernah bilang kalau kamu suka makanan ini khan?” Adrian balik bertanya.
  “Oh ya?” Bastian berusaha mengingat. “Oh, waktu itu. Waktu itu, saya cuma ingin tahu. Mancing-mancing kamu ternyata waktu itu kamu sering bikin makanan ini buat siapa saja yang ingin kamu dekati. Haha.”
  “Haha. Dasar bocah kepo,” sanggah Adrian.
  “Habisnya jadi orang sok-sok misterius banget. Makan, yaa..” timpal Bastian enteng. Segera saja dia menyergap satu gelas susu putih, lalu disusulnya dengan melahap sarapan pagi yang serupa dengan hamburger itu. Tapi yang membuatnya beda, roti yang dipakai mirip donat dengan satu lubang ditengahnya. Rasa rotinya gurih, hasil pencampuran garam, perisa bawang Bombay dan bawang putih. Ditengahnya terselip daging ham, selada, dan keju yang membuatnya tebal dan kenyang.
  “Ham and Cheese Bagels itu bikin kenyang. Apalagi kalau dibuat sarapan tiap pagi,” Adrian mulai mencoba menjelaskan alasannya membuat masakan itu.
  “Alasan klise. Itu khan alasan yang saya pakai tempo hari perkara Ham and Cheese Bagels,” timpal Bastian dengan segera dengan mulut penuh makanan.
  “Tunggu dulu,lah. Saya belum selesai menjelaskan,”
  “Lalu?”
  “Tiap kali memasak, saya selalu pakai hati. Sama halnya ketika kamu menulis khan?. I always treat my love like cooking. Kalau makanan yang saya buat bisa saya masak pakai hati, itu sama seperti saya ngasih hati dalam bentuk makanan yang dibuat to..yeah..my love ones..” sambung Adrian. Nada bicaranya berubah menjadi serius. Tulus.  
  “Haha..” Bastian terbahak. “Sesimpel itu kah?”
  “Memang simpel, tapi tak banyak yang tau. And, I’m so lucky finally you knew it,” Adrian tersenyum.
  Bastian tak berkata-kata lagi setelah itu. Segera membuang kebingungannya untuk berucap lagi dengan sibuk menghabiskan sarapan paginya yang tinggal separuh porsi. Sejujurnya memang Ham and Cheese Bagels yang dibuat kekasihnya itu memang enak, memang membuat kenyang, dan dari kali pertama dia bertemu kekasihnya itu, makanan ini pulalah yang setidaknya membuat ia rindu bertemu sosok lelaki itu.
  “Ya sudah, saya berangkat bekerja dulu. Cepat habisin sarapan, lalu cepat mandi. Hari ini, hari spesial buat kita?” Adrian beranjak dari kursinya. Mengembalikannya ke pelukan meja, dan segera menyusun langkah ke kursi Bastian.  Segera mengecup kekasihnya itu. “I love you so much. Jangan suka ngilang tanpa kabar. Kalau memang hari ini atau kapanpun ingin hilang dan sedang tak ingin diganggu, tinggalin pesan seperti tempo hari, ya sayang. Hehe.”
  “Hehe. Gantian ngeledekin dia. Anyway, memang hari spesial apa hari ini?” Bastian.
  “Periksa meja di ruang TV. Jangan menyentuhnya saat belum mandi.”
  “Ye, peduli apa mandi atau belum mandi. Enggak bakalan ada yang tau saya menyentuhnya saat sudah mandi atau belum mandi. Haha.”
  “Bocah bandel. Sudahlah, terserah kamu. Saya berangkat kerja dulu, Sayang,” Adrian mengecup kekasihnya sekali lagi. Dan segera saja bayangannya lenyap dari tempat ia tinggal. Menyisakan Bastian seorang diri.
  Benar saja dia tak mengindahkan ucapan kekasihnya barusan. Sesaat setelah memastikan sosok laki-laki itu lenyap dari dalam rumah, Bastian segera menyergap ruang TV. Tanpa terlebih dahulu menyudahi sarapan paginya itu, dia menuju ruang tengah tempat biasanya dia dan kekasihnya menghabiskan malam. Dilihatnya sebuah amplop persegi panjang berwarna putih diantara tumpukan majalah kuliner dan seni di meja yang bertengger diantara sofa dan televisi yang berseberangan. Amplop itu bertuliskan Happy Anniversary. Astaga, Bastian tergagap karena bisa-bisanya melupakan hari itu. Lebih tepatnya dia memang benar-benar lupa hari itu, karena kebersamaannya dengan Adrian dua tahun ini sudah cukup membuatnya berbahagia. Laki-laki itu masih penuh dengan kejutan-kejutan yang misterius. Dibukanya amplop itu, dua carik tiket ke Eropa Timur untuk bulan depan. Bastian semakin tergagap, mulutnya terbuka cukup lama karena tak tau harus berucap apa lagi. Di amplop itu juga terselip sebuah carikan kertas kecil, diatasnya dibubuhi goresan tinta hitam menyemburkan kata, “Agar kamu bisa singgah di negeri asal Ham and Cheese Bagel. Disana kamu juga pasti bisa mencicipi makanan itu, tapi bukan saya yang buat. Chef disana pasti bisa membuatnya lebih enak. I Love You and Happy Anniversary.”
  Segera dia masukkan kembali dua carik tiket dan kertas itu ke dalam amplopnya semula. Bastian menyusun simpul senyumnya. Dipandanginya tiap sudut tempat tinggal lelaki itu. Tempat inilah untuk kali pertama dia mengenal cinta satu malam dengan Adrian. One night stand yang bagi teman-temannya adalah perkara persetubuhan semata. Dan ditempat inilah, untuk kali pertama dia bertemu dengan sosok laki-laki yang tak ingin kehilangan sosok diri Bastian sendirian. Boys will be a boys, ucap sahabatnya. Tapi laki-laki mencintai petualangan, dia akan berhenti jika memang sudah bertemu dengan sosok yang mampu membuatnya berhenti, ucap Adrian ketika mendekap kencang memeluk Bastian saat setelah mengunci pintu bilik tempatnya tinggal dan mulai membuka segalanya kepada bocah laki-laki itu dua tahun lalu.  

   

Dear Heart

My dear heart, seems like a year
Since you’ve been out of my sight

  Semisal hari itu adalah lima tahun yang lalu, Bastian adalah serupa dengan pagi yang masih terlalu muda untuk mengenal matahari yang menemani lebih unggul di terang hari. Ketermudaannya masih betapa merindukan kehangatan sebuah pelukan, jari jemari yang saling berdekap lekat, dan candaan manja yang beradu dengan keterdewasaan yang ia kenal bernama kasih. Lima tahun lalu, Bastian genap berusia diakhir kepala sepuluhnya, 19 tahun. Dan itu kali pertama dia bertemu lelaki itu. Si kambing gunung dengan tanduknya yang kokoh berkelamin jantan.
  Sekiranya hari itu adalah lima tahun sesudahnya, usianya kini sudah menginjak di urutan keempat dalam jajaran angka dua puluh. Dua puluh empat. Bastian masih laki-laki yang sama, namun ada beberapa sedikit keterubahan yang ia tekan dan pendam sendiri untuk hanya disimpan di relung hatinya. Menyimpannya mirip dengan sebuah koleksi lampau benda-benda klasik seperti yang ia suka. Hari itu juga, dia sengaja memberanikan dirinya untuk sedikit menengok kembali apa yang ia simpan itu.
  Bastian memasuki sebuah ruangan dengan arsitektur kental berciri khas Belanda. Disana akan diadakan pertunjukan teater. Di dalam ruangannya ramai, lampu-lampu penerang berdecak riuh membentuk gugusan cahaya berwarna kuning pucat terang, kepala-kepala berambut berhamburan terduduk lesehan di lantai kayu berlapis karpet hijau yang di gelar diatasnya, dalam keramaian itu dia melihat lelaki yang untuk kali pertama ia temui lima tahun silam. Bastian hanya melihat, menahan dirinya untuk tidak melekatkan pandang yang terlalu pada sosok itu, lima tahun sudah membuatnya terbiasa dengan penahanan diri. Dia segera saja berhambur masuk mengikuti seorang teman yang berjalan di depannya. Bastian berjalan masuk, dan si kambing gunung jantan berjalan keluar. Dan pada satu titik, saat pandangannya tak ingin terlalu memandang, kini bibirnya yang mengenal terlalu itu. Dia menyapa lelaki itu. Sebuah nama terbang mengalir keluar kembali dari bibirnya setelah lima tahun hanya sesekali ia tiupkan. Suara yang masih sama saling tersembul keluar dari keduanya. Pandang keduanya masih sama, namun dalam gejolak yang berbeda yang mungkin serupa dengan rindu dan kaget. Awal pertemuan itu tak berlangsung lama, yang Bastian ingat hanya sebuah kecupan dan tatapan mata keduanya yang saling bertanding mengurai kembali apa yang terajut lima tahun lalu.
  Dan yang tak pernah Bastian mengira, awal pertemuan itu berlanjut hingga dini hari dengan dingin yang tak menusuk kulit dari kota Surabaya. Ia benar tak mengira, yang terbersit dalam pikir sebelumnya hanyalah menengok sebentar apa yang tersimpan di bilik hatinya. Sama seperti yang ia lakukan saat umur perkenalannya dengan si kambing gunung masih menginjak satu tahun, saat itu ia juga hanya menengoknya saja karena memang waktu itu pikirannya masih membentang tentang perkara kasih itu bukan sebuah susunan cerita yang rumit. Apa yang tak pernah ia kira sebelumnya, di hari itu perlahan terajut kembali walau segalanya sudah serba mengenal keterubahan. Keduanya saling mendekap kembali, diluar perkiraan Bastian sebelumnya.
  “Cara menyetirmu masih tetap sama, ya,” celetuk suara seorang pria beradu dengan suara angin menderu yang dilawan oleh kecepatan kendaraan yang ditumpangi Bastian dan pria itu.
  Bastian mengernyitkan dahinya, pencampuran antara dirinya sedang dibuat sedikit bingung oleh ucapan pria tersebut dengan decak tiba-tiba yang mulai bergerumul di dasar hatinya. “Dia masih ingat?” ucap Bastian dalam hati. “Aku malah sudah lupa, sejujurnya aku berusaha untuk tidak mengingat dimana lima tahun lalu kita juga pernah satu kendara,” tambahnya dalam hati lagi.
  “Tetap sama bagaimana?” Bastian melontarkan tanya kepada pria itu. Bentuk dari akumulasi kekagetan bilik hati dan bingung akan menimpali ucapan pria itu dengan apa.
  Tak ada jawaban.
  “Maksudku memang cara menyetirku seperti apa?” dia mencoba memperjelas pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya. Namun, hingga kendaraannya mulai berbelok arah dari jalan lurus yang panjang, pria itu tak kunjung menjelaskan maksud ucapannya. Bastian menarik nafasnya dalam, sembari masih menerka diantara bingung dan kaget. Sejujurnya, dia tak tau harus merasa gembira ataukah sedih ketika mengetahui pria itu masih ingat bagian kecil-yang mungkin bagi Bastian tak penting-di benak otaknya yang kini mulai sedikit demi sedikit termakan usia.
  “Sekarang sudah balik ke Surabaya?” bibir pria itu yang sedari tadi tak menjawab malah berbalik melontarkan pertanyaan dalam topik yang berbeda. Bastian berdeham. “Maksudku sudah permanen balik ke Surabaya?” tambah pria itu.
  “Belum bisa dibilang seperti itu,” Jawab Bastian mengambang. Konsentrasi menyetirnya sedikit terpecah. Hari itu malam minggu, ruas-ruas jalanan riuh oleh kepadatan. Menyetir sambil mengobrol tentu membutuhkan kesempatan sedikit dari jalanan padat yang mengalir bebas dari kemacetan yang tercipta.
  “Lalu?”
  “Ya..lalu…” Bastian menekan klakson kendaraannya dua kali. Mobil di depannya tak kunjung tancap gas padahal kendaraan di depan mobil tersebut sudah perlahan melesat maju menyisakan space jalan yang cukup lebar untuk mobil tersebut melaju ke depan. Sementara di belakang Bastian, bertubi-tubi riuh klakson kendaraan berteriak tanpa padam menyuarakan emosi tak sabarnya. Bastian mengikuti gerakan tersebut, karena memang mobil di depannya cenderung kebangetan. “Maunya gimana, sih, ini orang?” Bastian mulai menggerutu.
  Genap delapan kali klakson dari kendaraan Bastian berbunyi, mobil di depannya baru mulai melaju ke arah depan. Kontan saja kendaran-kendaraan di belakangnya segera berebut behamburan melaju ke depan secara tak sabar.
  “Macetttt…Surabaya sekarang malesin banget, ya..jalanannya. Apa bedanya sama Jakarta,” gerutu si pria tiba-tiba. Sedikit terbilang seperti menyindir memang. Di dalam benak Bastian, bilik terdalamnya kembali berbisik perlahan sembari dia masih menancapkan titik fokusnya pada kendaraannya. Pria itu masih gemar menyindir.
  Selepas jalanan mulai lancar dan keriuhan mulai padam, Bastian berbelok lagi sehabis jalan yang seharusnya pendek tercipta menjadi jalan panjang karena kemacetan tadi. Kendaraannya menuju ke sebuah kedai makan. Pria itu ingin menyesap makanan khas kota ini. Katanya ia rindu masakan Jawa Timur, disamping dia juga rindu dengan teman-temannya di kota ini-yang juga teman dari Bastian. Setelah dua kelokan Bastian jelajahi, dia berhenti dan memuntahkan diri dari kendaraannya.
  “Oh, ya..tadi sampai dimana ngobrolnya?” celetuk Bastian.
  Pria itu memberengut. Menampakan mimik wajahnya itu ke arah Bastian tanpa sepatah katapun.
  Menanggapi reaksi pria tersebut, sejujurnya memang membuat semangat Bastian untuk mengobrol dengannya menjadi padam. Berurusan dengan pria itu memang tak pernah tuntas. Terbilang sering menggantung. Tetapi, lebih dari lima tahun ini, sudah bukan hal asing baginya untuk memakluminya sebagai kebiasaan yang tak berubah dari si kambing gunung.
  Memasuki kedai, dari kejauahan di titik pintu masuk, keduanya melihat segerombol lelaki dan perempuan yang kesemuanya mereka kenali duduk pada sebuah meja kayu hitam persegi panjang. Gerombolan itu adalah kelompok besar-kalau saja memang tak ingin disebut kelompok kecil dari teman-teman si kambing gunung dan Bastian. Lingkaran perteman mereka di kota ini masih dalam satu sirkulasi memutar yang sama. Bastian merasa beruntung setidaknya, karena pertemuannya kembali dengan si kambing jantan tak membuat hanya mereka berdua duduk bersama dalam satu meja. Karena Bastian hanya ingin mengintip sebentar bilik hatinya, hanya sebentar, dan tak lebih.
  Seorang perempuan melambaikan tangan dari satu titik di meja persegi panjang hitam itu. Si Pria tersenyum simpul dan segera berhambur berjalan menuju ke arahnya. Bastian mengikutinya di belakang. Berjalan santai sembari menelisik sosok si kambing gunung dari belakang. Pria itu tak berubah fisiknya, meskipun usianya kian renta, hanya beberapa lemak di bagian-bagian tubuhnya tertentu menyembul di balik kaos warna merah yang ia kenakan. Dan Bastian hanya menghembuskan nafasnya seketika.
  Di meja panjang itu, riuh seketika menyergap. Ada celotehan-celotehan jenaka yang saling terbang dari mulut-mulut lelaki dan perempuan. Beradu dengan asap-asap rokok hasil sesapan batang-batang tembakau yang juga datang dari mulut-mulut lelaki dan perempuan yang sama. Gemericik tawa cekikikan sering juga mengisi diantara keduanya. Bastian maupun si kambang gunung melebur diantara kesemuanya. Namun ada salah satu sisi terdalam yang serasa ingin mengasingkan diri. Di bilik itu, mungkin ada sebuah rindu yang kembali berdentang karena telah dicoba-coba untuk disentuh. Mereka terbang, bergerilya membentuk gugusan keinginan lampau yang entah sebenarnya tak ditahu bisa meraihnya atau tidak. Mereka meluap, dan dibalik senyum, kata-kata, dan cekik tawa Bastian dia menatapi lama menelanjangi si kambing gunung. Bagaimana tidak, dia adalah sosok yang datang sebelum Bastian bertemu dengan Centaurus, manusia berbadan kuda yang ia temui empat tahun lalu. Mereka, Bastian dan Centaurus, saling mencinta. Dia sempat melupakan si kambing gunung karena memang ia ingin melepaskan diri dari segala yang tidak pernah tuntas. Tapi perihal kasih, perihal yang katanya cinta memang tidak akan pernah tuntas ataupun musnah. Bastian menganggapnya tuntas, tapi tahun-tahun belakangan ia tersadar jika cinta tertelan hidup-hidup di alam bawah sadarnya.
  “Hei...Hallooo!!” sembur si kambing gunung ke arah Bastian. “Ngelamun aja, nih lacur satu ini. Haha,” sambung candanya.
  “Oh…hei,” kesadaran Bastian kembali ke tubuhnya. “Kok lacur, sih?. Haha.”
  “Haha..udah ikut dia ke Jakarta aja, sih. Hidup sama dia. Pekerjaan di sana lebih banyak, lho,” salah satu perempuan yang duduk di dekat Bastian dan si kambing gunung ikut menyambung obrolan.
  “Haha. Enggak kuat bayar tarifnya dia aku. Pasti mahal,” si kambing gunung kembali cekikan. Tetiba dia mendekatkan tubuhnya ke arah Bastian, menyodorkan tangan kanannya hingga menyentuh pundak kanan Bastian. Lalu menarik tubuh Bastian ke arah tubuhnya, hingga bersentuhan dengan lengan dan dada pria tersebut.
  Mata Bastian membelalak. Namun hanya sebentar, karena ia tak ingin teman-temannya dan si kambing gunung tau kalau dia terperosok dalam kaget.
  “Balik, yuk!” si kambing gunung kembali berkata, masih mendekap Bastian dengan tangan kanannya. “Aku baliknya sama kamu lagi, ya?” dia menggoyang-goyangkan tubuh Bastian, tapi ia tak menjawabnya.
  Baginya, bagi Bastian ini mungkin sedikit terbilang konyol. Dia ingin segera tersadar karena ini memang bukan mimpi. Kalaupun memang mimpi, dia tak ingin mimpinya digerayangi oleh pria itu. Setidaknya itu yang diinginkan akal budinya dan rasionalitasnya. Bukan apa yang terselip di dalam bilik hati dan alam awah sadarnya. “Iya,” jawab Bastian pendek. Tak kuasa menolak.
***
  “Kamu sekarang pacarnya siapa?” dini hari ruas-ruas jalanan kota sudah cukup lengang. Pria itu kembali memecah keheningan perjalanannya dengan Bastian. “Masih jalan sama si Sagitarius?”
  Bastian menggeleng. Jalanan sudah sepi, konsentrasinya tak perlu terlalu ia bagi antara fokus menyetir dengan mengobrol. “Sudah enggak sejak dua tahun lalu.”
  “Lalu?”
  Bastian kembali menggeleng.
  “Enggak jalan sama siapa-siapa, tapi ngelacur jalan terus?. Haha” sindir si kambing jantan.
  “Haha..” timpal Bastian dengan tawa. “Daritadi nyindiri lacur melacur terus, sih,” sergahnya.
  “You’re grown up, now. Aku beruntung bisa ketemu kamu lagi di Surabaya.”
  “Maksudnya?. Apa hubungannya lacur sama tumbuh?”
  “Memang tak ada hubungannya, Sayang. But, I just feels so lucky today.”
  Batin Bastian kembali terpengarah. Panggilan itu tersembul kembali sejak terakhir, lima tahun lalu ia dengar dari bibir pria itu. “Aku juga merasa beruntung sebenarnya,” ucapanya. Namun, hanya dalam hati. Tak ingin ia ucapakn begitu saja.
  “Cinta itu eksistensialis*, Sayang. You’re grown up now, and I think you already know it,” tambahnya lagi.
  Sebuah tanda tanya besar kembali menghunjam di benak Bastian. “Darimana kamu tau aku tahu itu?”
  “Tak perlu tahu darimana-mana. Waktu selalu punya banyak cara untuk membuat kita tahu akan sesuatu,” ucap si kambing gunung datar. “Nanti, aku turun di luar aja, yah.”
  “Enggak masuk sekalian aja?” timpal Bastian.
  “Tak usah. Kemarin aku diantar pulang seseorang juga cuma di depan, kok,” terang si kambing gunung pendek.
  “Oh…” Bastian.
  Kendaraan Bastian menerobos jalanan menembus angin dini hari kota Surabaya yang tak seberapa dingin. Jalanan tak seriuh malam tadi, lengang sudah menggerayangi kota ini. Menerobos masuk di sisi terdalam bilik hatinya, tak ia jumpai keriuhan lengang yang menggema disana. Di dalamnya memang terasa riuh, tapi justru hangat ia rasakan di bilik kecil yang bisa menampung jutaan partikel yang mampu menyergap ke dalamnya. Hangat yang tak pernah ia mengira sebelumnya. Sebelumnya, yang hanya ingin ia menengoknya sebentar. Sebentar saja. Hingga, sepanjang perjalanan kembali dari kedai, salah satu tangan Bastian tak pernah terlepas dari genggaman erat pria itu, si kambing jantan.
  “Benar, mau turun di depan saja?. Tak perlu masuk kedalam?” kendaraannya sudah berhenti di sebuah bangunan tempat pria itu tinggal menginap.
   “Yeah, no problem,” pria itu bergegas menata tasnya. Meraih sesuatu yang sedari tadi ia genggam erat, dan mengecupnya perlahan dengan hangat. “Terima kasih, Sayang,” si kambing gunung tersenyum simpul. “Hati-hati,” Bastian beku tanpa kata-kata.
  “Hati-hati juga besok pulang ke Jakarta,” tatap Bastian kosong. Si kambing gunung tersenyum simpul kembali dengan hangat, lalu segera bergegas menuju ke dalam.
  Bastian menatap pria itu hingga wujud bayangnya hilang. Dan segera saja bergegas menarik gas kendaraanya melaju. Angin dini hari dengan segera menyapu wajahnya, walau dingin tak seberapa menusuki kulit di julur-julur tubuhnya. Bilik hatinya masih saja bergejolak, barangkali apa yang ia simpan selama lima tahun ini ingin dimuntahkan keluar. Dia ingin terbang bebas, dia tak ingin terbelenggu lagi di dalam bilik sempit itu, bergerumul dengan kawan-kawannya yang lain yang kian lama semakin banyak terjejal masuk di dalam bilik itu. Namun, sepertinya itu semua mustahil. Kasih, cinta mungkin terbilang memang eksistensialis. Kebebasan hidup di sisi terdalam bilik hati, mungkin saja sudah menjadi bagian kebebasannya. Dan…selama lima tahun dan setelahnya, Bastian hanya membiarkannya terdiam disana. Hanya bergeming.

And dear heart, I want you to know
I’ll leave your arms never more


*) eksistensialisme : aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
      

     

Minggu, 18 Agustus 2013

Dongeng dari Ketinggian 23.000 kaki dari Permukaan Air Laut

  Dini hari menjelang makan sahur, saya kedapatan berdialog dengan seorang asing melalui Skype. Seorang pria, kemungkinan dari negara istana-sentris, berperawakan klimis-rapi, nada bicaranya lembut tapi penuh dengan kuasa. Orang itu menginap pada sebuah hotel dengan lima bintang sebagai tingkatan prestisiusnya.
  “Banyak duit itu enggak boleh sombong. Nanti cepat miskin,” dengan sangat santai pria itu berujar, nadanya masih penuh kuasa.
  “Memang, sombong di mata kamu seperti apa?” saya penasaran.
  “Yah…sombong itu suka belanja barang-barang branded, makan di restoran super mahal, pokoknya yang mewah-mewah,” Ia menjelaskan.
  “Oh, berarti orang kaya itu sombong-sombong, ya?. Mereka bakalan cepat miskin juga?” saya.
  “Maksdunya?”
  “Ya, orang kaya khan suka belanja barang-barang branded, makan di restoran super mahal, pokoknya yang mewah-mewah gitu,” saya menjelaskan.
  “Yah…” ucapan pria itu mengambang mencari alasan. “Ya, pokoknya saya bukan sombong,” dia terdiam. Skak mat. Apalagi saya?.
---
  Bel kamarnya berbunyi, terdengar menembus dari celah speaker laptop saya.
  “Sebentar, room service lagi nganter makan sahut. Wait…,” Ia beranjak menghampiri sumber suara. Saya diam. Lalu terdengar dialog-dialog kecil antara si pria dan room service.
  “Sorry lama. Saya lupa nyimpan uang rupiah di dompet. Jadi, saya kasih uang dollar ke room service.”
  “Hah?” saya tertegun.
  “Iya, saya hampir enggak pernah nyimpan uang rupiah di dompet. Dollar semua. Rupiah cuman ada di ATM,” Ia terkekeh.
  Saya mengangguk perlahan. Memandang kosong ke arah monitor laptop. Untungnya segera dipecah oleh jam penunjuk di angka 03.00.
  “Mas, saya makan sahur dulu, ya. Takut enggak keburu. Thank you,” tentu saja hanya sebuah alasan saya untuk kabur. Kabur dari entah apa-apa saja celotehan pria itu yang penuh dengan nada kekuasaan.

***
  Saya mengetahui kalau dia bernama Sandi. Awalnya, saya mengira Pria itu adalah proyeksi realistis dari Sandi Yuda, tokoh sang “Iblis” dari roman-serial Bilangan Fu yang ditulis Ayu Utami. Pria sipil-militer yang selalu haus dan rindu akan sebuah kekuasaan, yang seakan masih menyebar luaskan isu patriarkal dalam kelembutan nada bicaranya. Dia mungkin sama seperti Pria pada umumnya, persetubuhan hanyalah serupa perkara melepas syahwat tanpa tendensi apapun. Selesai.
  Benar saja saya datang menuju istananya, undangan secara tiba-tiba beberapa hari kemudian, serupa undangan Jay Gatsby untuk Daisy Buchanan seorang perempuan yang telah lama dirindu dan tak mampu disentuhnya. Dibalik baju lengan panjang kotak-kotak berbahan kain flannel, saya sebenarnya menyimpan gemerincing perasaan was-was yang tak berani sepenuhnya saya yakini. Menebas petang, istananya serupa dengan istana negara yang dijaga dan dikawal ketat oleh pria-pria bertubuh besar dengan busana yang seragam berwarna gelap. Atribut lengkap pertahanan itu didukung sekali dengan pemikiran khas sipil-militer yang begitu tergila-gila akan hierarki (dalam cerita ini lebih menjurus kepada hierarki status sosial). Sebuah pemikiran yang mengkategorikan jenis-jenis manusia menjadi beberapa tingkatan, yang kemudian dengan begitu saja dan mudahnya tingkatan itu berpengaruh kepada kepribadian manusia yang seakan menihilkan beberapa konsep dan teori psikologi tentang perilaku manusia. Buat saya, sejujurnya ini sedikit tidak adil, tapi karena doktrin ini sudah mengakar dari zaman sebelum saya lahir, rasa tidak adil itu lebih baik saya simpan sendiri. Toh, saya bukan bercita-cita sebagai manusia yang ingin menciptakan sebuah revolusi. Contoh kasus nyata saat saya mendatangi istananya, pria-pria bertubuh besar itu terbilang seperti memperlakukan saya sebagai tertuduh yang wajib untuk di interogasi, lantaran saya kesana dengan menaiki sebuah motor. Tapi, lagi-lagi toh saya juga bisa berbuat apa lagi. Saya meladeni apa-apa saja yang diinginkan pria-pria itu. Kata seorang teman yang pernah berkunjung ke beberapa negara, miris dan sedihnya hidup di Indonesia itu ketika menghadapi kejadian seperti ini. Hierarki status sosial yang begitu gamang, dan meninggalkan sebuah kelapangan hati karena bukan terlahir sebagai seorang revolusioner.
  Kamarnya terbuka, dan saya memasuki kamar pribadinya di lantai lima. Ada dua single bed terdiam disana. Ranjang yang satu sudah begitu keruh dan kentara lipatan-lipatan kainnya. Sementara ranjang disampingnya (yang hanya dipisahkan beberapa langkah dari ranjang yang keruh) masih begitu rapi dengan sprei dan selimut putih yang tak terjamah. Dia menawarkan minum, saya hanya menjawab dengan sesegera mungkin memasrahkan badan di pinggir tempat tidur yang belum terjamah itu. Kesan pertama saya akan tokoh Sandi Yuda sang “Iblis” perlahan luntur sedikit demi sedikit dimulai detik itu. Barangkali dia memang seorang Iblis, tapi wujud di depan saya itu adalah realisasi dari seorang Iblis yang kehilangan jiwa, atau mungkin seorang Iblis yang kehilangan sayap keiblisannya hingga dia tak mampu lagi terbang kemanapun ia inginkan. Jangan membayangkan Iblis yang memiliki wajah menyeramkan, Pria di depan saya ini justru berkebalikan sekali dengan perjumpaan pertama kami di layar monitor laptop yang terhubung melalui teknologi Skype. Saya tak menjumpai sisi kekuasaan yang begitu hebat seperti yang ia lontarkan beberapa hari lalu di Skype, padahal sejujurnya saya begitu menunggu cercahan-cercahan renyah itu segera disembulkan. Pertemuan di istananya malam itu sangat begitu kontradiktif, dia seperti memutar balikan sebuah isu materialistis yang kemarin sangat begitu disanjung dalam balutan nada bicaranya yang lembut penuh kuasa. Malam itu dia memutarnya dengan cercahan isu materialistis dari segi fungsionalitas dan timbal balik yang ia terima dari massa. Nada bicara yang lembut dan masih sedikit terdengar berkuasa, namun dengan taburan rasa menyesal yang kadarnya hanya setetes. Saya mendengar tiap ucapannya ketika dia bercerita tentang hidupnya yang begitu bertahtakan istanasentris, yang secara tidak langsung keuntungan dari fungsi material-nya yang begitu membludak, mendapatkan timbal balik dan respon positif dari massa. Tapi, dia juga menambahkan bahwa respon positif itu adalah serupa dengan topeng belaka. “Sebelumnya mereka sok-sok jual mahal. Tapi begitu ketemu, dan saya ajak kerumah, mereka bisa secepat itu berubah menjadi manis dan seperti begitu ingin memiliki saya ketika pertemuan di rumah usai. Saya tidak pernah tahu,” ucapnya.
  Saya mengangguk perlahan, menelanjangi setiap gerak-geriknya, dan yang saya temui, dia tak pernah bisa saling bertatap mata dalam waktu yang lama. Iblis itu terlihat begitu kesepian, entah karena ada sesuatu yang membatasi pada dirinya. Hingga akhirnya, saya merasa ada kemiripan dengan dirinya dalam perkara sisi buruk yang mengerat pada diri masing-masing. Kami berdua mempunyai sisi buruk tak ingin dimiliki oleh siapapun, yang dibalik sisi itu, kami juga menyimpan sebuah sisi dimana kami juga menginginkan perasaan untuk dimiliki oleh sosok yang begitu sangat di rindu. Tapi, yang membedakan kami adalah alasan dibalik sisi buruk itu. Dia bisa saja tak ingin dimiliki karena dirinya sendiri tak bisa bebas, sementara alasan saya adalah perkara asas ketidakpercayaan penuh kepada sosok lain selain diri saya sendiri. Entah kenapa, perlahan saya begitu merasa miris melihat sosok yang terduduk di ranjang yang terletak disamping ranjang tempat dimana saya mulai merebahkan tubuh.
  Dini hari semakin meninggi, dan kebekuan seakan mulai menggantikan dingin yang begitu terjejal pada lapisan kulit terluar. Malam itu, saya seperti memiliki dua peran. Berperan yang sejati-jatinya sebagai bentuk nyata seperti Daisy Buchanan yang dengan begitu lapang menerima kebaikan-kebaikan seorang Jay Gatsby, dan dibalik itu, saya seperti berperan sebagai Holly Golightly yang tak pernah mengenal perasaan dan hanya memikirkan kesenangan saja. Dia meminta saya merebahkan kepala di salah satu pahanya, sembari kami berbagi menyeruput satu batang rokok yang asapnya seakan menghapuskan segala yang beku di ruangan itu. Pada satu titik, saya menyadari matanya menelisik rupa yang saya miliki. Begitu menyadarinya, saya segera membalas menelanjangi balik kedua matanya. “What are you looking for?” bibirnya berucap setelah asap ia hembuskan keluar, kedua matanya sesegera mungkin beranjak menelanjangi rupa saya. Dan dimulai detik itu juga, seketika saya seperti memasuki lorong kesedihan, kesepian, dan kerahasiaan melalui kedua mata yang ia miliki sebagai pintu masuknya. Saya menjadi sedikit berfikir, Tuhan mungkin saja menciptakan kedua mata sebagai simbol signasi atas rahasia yang disimpan dari tiap manusia yang ia cipta.
  Dia memasrahkan satu nampan makanan lengkap untuk sahurnya kepada saya, Pria itu hanya menyentuh buah-buahan yang dipotong kecil lalu disejajarkan dan ditusukkan pada batang lidi. Dua biji sate buah. Kemudian dia begitu piawai menghidangkan secangkir English Tea pada jam yang salah untuk saya. Tubuhnya sedikit lebih rileks jika dibandingkan detik-detik pertama bertemu tadi. Namun, saya masih menangkap sedikit tingkah was-was yang sebenarnya sangat begitu ingin ia sembunyikan kepada saya. Bisa jadi, malam itu sebenarnya sebuah malam yang cukup indah. Tapi, begitu pulang pikiran saya masih berputar-putar pada sosoknya yang begitu misterius. Sosok misterius yang tak bisa saya lihat dari bentuk luar Pria itu saja. Sosok misterius yang bisa ditangkap ketika mampu menerobos masuk kedalam lorong dengan kedua mata pria itu sebagai pintu masuknya. Dan setelah semuanya usai, beberapa hari kemudian saya seperti bertransformasi menjadi detektif.
***
  Di usia 24 tahun, saya masih berpendapat bahwa cerita-cerita dongeng putri dan raja yang dibuat Disney itu begitu manis, jujur, dan memang sedikit naïf. Dan sang Iblis itu, dengan usia tiga sampai empat hari setelah pertemuan, seperti terkelupas bagian kecil dari misteri dan rahasia yang ia simpan. Mungkin, karena saya pribadi adalah orang yang serba penasaran dan sedikit kurang lebih gemar mengkritisi segala sesuatu yang terjadi, saya menemukan sedikit keterungkapan bahwa sang Iblis adalah memang sosok pangeran sejati-jatinya.  Namun, sosoknya adalan pangeran di zaman post-modern. Yang dimana sosok pangeran dan putri itu sendiri bersifat universal dan dikompetisikan bagi siapa saja yang benar-benar yakin akan potensi diri yang mereka miliki. Sang “Iblis” memegang tahta kerajaan di daerahnya empat tahun yang lalu. Bibir menyunggingnya sangat kentara saat memegang tahta kerajaan, tapi kedua matanya masih tak beranjak dari sebuah perasaan yang ia sebut sebagai rahasia dan misteri. Masa jabatan-nya hanya berusia satu tahun, lalu dia terbang mengepakkan sayapnya ke awan-awan. Mungkin saja, masa-masa itu sayap Iblis-nya masih mampu bergerak dengan lincah ke arah yang begitu ia inginkan. Perlahan, lorong gelap dari kedua matanya yang pernah saya lihat mulai menampakkan sedikit demi sedikit cahaya dari atas bagai cahaya surgawi. Saya menemukan sosok perempuan renta dengan jilbab yang tergantung di kepalanya. Wajahnya begitu teduh, kerut-kerut di mukanya seakan menyembulkan perasaan sabar yang telah ia tempa selama bertahun-tahun. Perasaan miris saya menjadi semakin ganda. Bayangan-bayangan istanasentris yang sang “Iblis” cipta seakan hancur lebur. Hanya menyisakan sedikit keping-keping sejati yang merupakan bagian-bagian dari potensi dirinya yang membuahkan hasil.
  Ada sebuah premis yang diambil dari sebuah teori yang berkata bahwa manusia itu makhluk ciptaan yang paling sempurna. Disisi lain, ada juga sebuah premis yang berkata bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Lalu, jika diambil kesimpulan kedua premis itu dengan memakai teori logika Alex Lanur, tentu saja antara kedua premis tersebut tak akan bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang logis. Keduanya begitu kontradiktif. Mungkin, bisa jadi saya menganggap yang logis adalah Manusia itu kompleks. Kajian tentang manusia membuat saya bersifat universal, meskipun moral, material, spiritual, dan prinsip hidup selalu tak bisa lepas dan akan selalu mengikuti di belakangnya.
  Pada akhirnya, saya tak ingin menghakimi sang “Iblis” dengan semena-mena. Bisa jadi, pria itu punya alasan tersendiri untuk menyembulkan cerita-cerita tentang megahnya hidup di ranah istana-sentris. Yang justru pada realitasnya, dia memang dalam tahta istanasentris yang megah, namun kemegahan itu seperti mengurungnya dalam ketidak bebasan meskipun pria itu masih bisa terbang dengan bebas, namun tidak sesuai dengan tujuan untuk terbang seperti yang ia inginkan. Sang pangeran Iblis, kini telah menjelma dengan setelan jasnya yang begitu rapi, potongan rambut klimis rapi yang sempurna, sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat. Sejati-jatinya tokoh Jay Gatsby, yang misterius dan ternyata menyimpan sebuah lorong hitam yang menjadikan kedua matanya sebagai pintu masuk menuju ruang rahasianya. Malam hingga dini hari itu sejujurnya memang seperti mimpi, barangkali itu sudah menjadi kelebihan sang Iblis. Pria itu sudah sangat terlalu piawai menerbangkan dan melayani para penumpang meletup bebas di ketinggian 23.000 kaki dari permukaan air laut.

***     

Kamis, 30 Mei 2013

Skeptis*

Petang. Balkon rumah sebenarnya menjadi tempat favorit Saya untuk sekedar pergi dari keriuhan. Beberapa keriuhan yang bisa saja menjadi beberapa hal yang tidak Saya sukai. Kalau saja Saya suka, kenapa harus pergi?. Namun, daripada memilih untuk pergi, sejatinya bukankah lebih baik menikmati dan beberapa detik untuk singgah dalam keriuhan. Tapi, itu dulu. Itu lima tahun lalu. Saat Saya belum memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Saya tak butuh balkon untuk sekedar lari. Di Kota itu, di setiap sudutnya justru memberikan kehangatan bagi batin. Tapi tentu saja kehangatan itu berbaur dengan kedinginan damai orang-orangnya yang tercipta dalam perilaku blangkon* untuk mencipta sirkulasi konstan yin dan yang. Tak ada yang salah dengan itu, kalaupun memang salah, kenapa harus ada kajian Psikologi Budaya dalam ranah studi tentang kejiwaan manusia?.

Lima tahun kemudian, Saya kembali ke rumah. Bukankah sejatinya pergi itu untuk pulang?. Awalnya Saya ragu dengan kalimat tersebut, tapi rotasi bumi membuat Saya mengerti bahwa juga tidak ada salahnya dengan kalimat itu. Saya kembali terduduk pada sebuah kursi di balkon rumah. Langit gelap, karena memang sudah saatnya jam dinding bergerak pada angka dua belas gelap. Di kejauhan, produk tata surya sebagai aji-aji keberuntungan hanya nampak separuh, bulan separuh. Bapak dan Ibu Saya sudah pergi tidur. Selama pergi ke Yogya, rumah memiliki personil pengganti untuk menggantikan Saya. Seorang perempuan renta yang kini sudah tak bisa melihat, namun beliau masih piawai untuk berjalan. Perempuan milik Ibu Saya. Sosok perempuan dimana ia dulu menyimpan orang terkasih Saya di alat reproduksinya. Nenek.

Di balkon itu, Saya seperti enggan untuk sekedar melempar pandangan ke arah kiri. Saya merasa skeptis, hanya berani mencoba-coba untuk menerka apa yang ada disana. Padahal Saya sebenarnya tahu, disana tersembul sebuah sosok yang besar, perkasa, tapi kosong. Tak mau memungkiri, keengananan Saya sebenernya bersumber dari perasaan cinta atau mungkin menyertakan sebuah benci didalamnya. Pokoknya, malam itu saya tak mau menoleh ke kiri. Toh, disana pasti sudah gelap. Karena jiwa sosok besar, perkasa, serta kosong itu sedang melakukan sebuah perjalanan pergi (yang juga untuk pulang). Disana hanya sebuah kemasan kosong, sudah kosong ditambah lagi dengan kekosongan tanpa jiwa.

Saya suka melempar pandangan ke arah kanan. Itu ke arah pusat kota. Salah satu alasan Saya rindu untuk pulang. Tak jarang, angin-angin malam menerpa wajah, dan Saya menyukai hal kecil itu. Malam itu-pun juga sama halnya. Lampu-lampu diseberang semakin riuh. Berbeda dengan lima tahun lalu saat Saya terduduk di tempat yang sama. Mereka seolah-olah ingin berbicara pada Saya. Tapi mereka-mereka itu segera terdiam. Terkalahkan oleh sesuatu. Firasat.

"Selamat datang kembali. Ujung yang merupakan sebuah titik akhir dalam setiap pergi dan perjalanan yang kau jalani. Tak perlu berbicara dengan mereka, dengan para lampu-lampu itu. Mereka hanya ingin merayakan euforia kedatangan pada setiap seseorang yang bergabung di kota ini kembali. Seperti layaknya, Kau," ada sebuah percakapan.

"Segalanya sudah tercipta sedemikan baru sekarang. Sudah, percaya sajalah bahwa Kau akan membuat sebuah cerita baru disini. Tak perlu ragu, ini dirimu yang berbicara sendiri. Alam bawah sadar, yang selama ini kau ciptakan sendiri dalam sebuah paket keisengan dan penuh keingintahuan. Percaya saja," percakapan itu terhenti.

Dengan sesegera Saya hembuskan nafas. Bintang hanya tiga titik diatas. Saya terpikirkan sosok besar, perkasa, tapi kosong itu. Saya terpikirkan diri Saya yang berbicara dalam diam. Saya hanya terpikirkan dalam diam yang bermula dari perasaan Skeptis. Namun, Saya mencintai malam itu. Saya mencintai balkon rumah, sebuah tempat kecil. Namun, memiliki keleluasaan fikir dan tanpa batas mengawang-awang lautan atas.

***

*Skeptis : Sikap sedia meragukan segala sesuatu.
*Blangkon : Analogi untuk perilaku orang Jawa (bagian tengah?). Ibarat blangkon yang sisi permukaan depannya rata, namun sisi belakangnya ada sebuah ikatan benjolan. Di depan manis, tapi di belakang menyimpan sebuah ketidaksukaan.

Sabtu, 25 Mei 2013

Namanya Mr. Perfect

Menjadi lelaki itu, katanya harus berperawakan tinggi, besar, dengan otot-otot menyembul bagai aktor-aktor Hollywod yang kerap bertandang di bioskop ternama. Entah berasal darimana konseptual itu, Saya hanya ingin bercerita sedikit tentang pertemuan dengan berjuta-juta lelaki kembar yang Saya namai "Mr. Perfect".

Pria pertama yang Saya temui, dia berkulit cokelat dengan otot diilengannya yang menyembul keluar dari T-Shirt tanpa lengan berwarna hitam. T-Shirt-nya basah, akibat dari memompa fisik untuk tampilan perfect di hadapan Saya tersebut. Kami mengobrol sejenak, berbicara tentang buku dan seni. Karena dia hanya menanggapi seadanya saja, Saya menjadi sedikit mengurangi berbicara tentang apresiasi buku dan seni yang menjadi hobi Saya. Kemudian makanan datang, Saya memesan sepotong cake bertaburan keju diatasnya. Pemandangan ini tentu saja membuat Saya tak sabar untuk segera melahapnya.

"Gila, berapa kalorinya, tuh?" Tiba-tiba saja dia menyeletuk sembari mulai menyendok sepiring salad yang bertengger dimejanya.

"Kira-kira lebih banyak daripada salad yang dimakan, mas, lah" ujar Saya kemudian. Makanan itu anugerah. Daripada sekedar menghitung berapa kandungan gizi-nya, bukannya lebih asyik jika kita langsung melahapnya. Bukannya dengan menghitung kandungan gizinya, lantas tidak akan membuat diri kita menjadi orang paling higienis dan sehat di dunia ini?. Hanya itu yang ada di pikiran Saya waktu itu.

Kami menyudahi pertemuan itu ketika dia berpamitan untuk melakukan sesi kedua dari kegiatannya membasahi Tshirt hitam tanpa lengan yang dipakainya. Au revoir, Mr. Perfect.

***

Pria kedua yang Saya temui awalnya hanya mampu membuat Saya kagum melalui isyarat saja. Kami sudah lama berkenalan, melalui social media lintas batas tentunya. Saya menganggumi sense of fashion yang ia miliki (yang waktu itu hanya bisa lihat dan nikmati melalui social media miliknya). Singkat cerita, keberuntungan mungkin mendatangi Saya. Seorang teman tiba-tiba memberi secarik undangan. Invitation Fashion Show. Tentunya Saya girang setengah mati, karena acara tersebut terbilang private, hanya untuk kalangan tertentu yang disebut, Fashion People. Saya pribadi memang tergila-gila dengan dunia fashion. Tapi, untuk melabeli diri sendiri dengan label Fashion People, butuh keberanian ekstra untuk merengkuhnya. Skeptis mungkin kata yang tepat untuk perkara keberanian melabeli diri dengan label itu. Hehe.

Di dalam fashion tent, lebih tepatnya diperjalanan menuju kursi undangan. Saya sedikit tersihir dengan pemandangan seorang Pria yang berjalan di depan Saya. Perawakannya tinggi, dari belakang, rambutnya menjulang ke atas sekitar satu senti. Ya, cuman helai-helai rambut itu saja yang terlihat di kepalanya, dia membabat skinny rambut dibagian kanan kiri dan belakang kepala rambutnya. SWAG.

Mata Saya benar-benar menelanjangi sosoknya dari belakang. Otot di lengannya menyembul dari kemeja bermotif quirky yang berteriak. Muscle fit, kalau saja kemeja itu bisa berbicara, mungkin dia sudah berteriak lantaran sekujur tubuhnya ditarik dengan terpaksa untuk menutupi tubuh kekar pria tersebut. Short chino pants yang juga samar-samar menyembunyikan otot kakinya yang kencang. Serta sepasang flip on shoes beralas merah yang seakan berbicara bahwa dia adalah rentetan koleksi "men in sole" dari Christian Loubuitton. STYLISH.

Pria itu adalah Pria kedua. Yang pada akhirnya bisa Saya telanjangi dengan mata, wujud tiga dimensinya.

Entah bagaimana kronologi detailnya, atau mungkin karena Saya lupa. Dua hari berselang setelah kali pertama Saya melihat sosoknya di fashion show tersebut, kami janjian untuk bertemu. Di hari bertemunya kami, Saya tersihir kembali. Sosok itu kini menjelma menjadi Young American Swagger. Mirip tanpa cela seperti kebanyakan pria-pria yang Saya lihat di social media tempat kami pertama berkenalan. Topi hip-hop yang merupakan modifikasi modern dari topi casual yang kita pakai waktu duduk di Sekolah Dasar, T-shirt tanpa lengan berwarna putih yang ia bungkus dalam varsity jacket berwarna biru. Saya tersenyum, dan membatin pasti akan tercipta obrolan asyik dengan-nya, terlebih pasti asyik ketika bertukar pikir tentang wacana fashion.

"Kemarin seru, yah, Fashion Show-nya?" Saya mencoba membuka obrolan.

"Seru banget. Bisa jadi trendsetter buat fashion 2013, tuh" Pria itu menimpali. "Apalagi bisa ketemu desainer-desainernya"

"Iya, Saya suka sama show terakhir. Cutting-nya rapi dan pas banget. Agak Quirky memang, tapi mungkin itu yang bikin karya-karya si desainer berbeda. Hehe."

"Oh, yah?" Dia balik bertanya. Mungkin Saya tidak puas dengan reaksinya, Saya hanya mampu mengerutkan dahi dan alis. Baiklah, mungkin Saya yang salah menciptakan sebuah obrolan.

"Kalau soal hoolahop-bag nya Chanel?. Sumpah, itu diluar ekspektasi banget. Karl Lagerfeld emang jenius dan enggak main-main buat ngebikin suatu karya," Dengan susah payah, Saya akhirnya mencetuskan sebuah obrolan yang lebih umum. Iya, sebuah obrolan umum yang sudah kerap sekali dibahas di majalah-majalah fashion kala itu.

"Oh, yah?" Jawabnya pendek. Entahlah, apakah itu sebuah jawaban, ataukah balik bertanya. Saat itu dia tak memandang wajah Saya, kedua matanya hanya menelanjangi smartphone di genggamannya.

"Eh, ZARA lagi diskon gede-gede'an, lho. Gila banget, nih. Sumpah, apalagi Guess juga bikin diskon gede-gede'an. Bisa shopping gila-gila'an nih.." Beberapa detik kemudian, tanpa di duga Pria didepan Saya itu meletup seketika dalam keheningan yang tercipta sebelumnya. Saya terlonjak dalam hati.

Dan kali ini, mungkin benar-benar giliran Saya yang mengatakan ucapan tersebut...

"Oh, yah?" Ujar Saya setelah itu. Demikian, kata terakhir yang Saya ucapkan di pertemuan kami kala itu. Dengan perasaan sumringah juga, Saya mempersilahkan Pria tersebut ketika Dia berpamitan untuk segera memborong di butik yang sedang mengadakan Sale gila-gila'an tersebut.

Sekitar dua jam kemudian, Saya masih terduduk di tempat Saya semula bertemu Pria itu. Dari kejauhan, Saya melihat dua sosok Pria Stylish sedang menggotong beberapa shopping bag dari label asal Spanyol dan Amerika yang membuka butik di mall itu. Entah apa saja isinya, yang bisa Saya lihat kedua Pria itu sama-sama Stylist. Sama-sama putih. Sama-sama proyeksi sempurna dari aktor-aktor Hollywod bertubuh "Oh, La..La..". Si Pria kedua bersama seorang kerabatnya.

---

Masih berbicara tentang si Pria kedua. Kala itu Saya dan seorang sahabat sedang pergi menonton. Sembari menunggu film diputar, kami berdua berjalan menuju salah satu departement store di mall tersebut.

"Hei!" Tiba-tiba saja sahabat Saya tersebut menyapa seseorang. Saya segera menoleh ke seseorang yang disapanya. Si Pria kedua dengan setelan baju kerjanya. Kebetulan, karena circle pergaulan di dunia ini makin sempit, sahabat Saya tersebut juga kenal dengan si Pria kedua.

"Berdua aja?" Tanya balik si Pria kedua. "Mau ngapain?"

"Iya, ini mau nonton" Jawab sahabat Saya.

"Wah..nonton apa?. Star trek?" Si Pria kedua.

"Nonton Gatsby" Lagi-lagi sahabat Saya kembali menjawabnya. Saya memang sengaja mengunci mulut.

"Itu film tentang apa, sih?" Si Pria kedua kembali mencanangkan atas rasa ingin tahunya.

"Film tentang...." Sahabat saya didera skeptis seketika atas pertanyaan tersebut. Dia melirik ke Saya.

"Yah, film tentang gitu, deh. Hehe." Dengan terpaksa Saya menjebol gembok yang telah Saya kunci di mulut sendiri.

Sepulang dari nonton. Saya masih dalam keadaan Euphoria atas film tersebut. Keisengan Saya mencuat yang pada akhirnya membuat Saya kembali pada kebiasaan. Mengapresiasi apapun yang habis Saya lihat. Apresiasi Saya jatuh pada Carey Mulligan yang mengambil peran menjadi peran utama di film tersebut. Saya kurang puas dengan perannya sebagai Daisy Buchanan.

Bias tipis antara perasaan apresiasi dan terkekeh lantaran si Pria Perfect kedua. Saya menguploadnya di social media bersamaan dengan cover sebuah majalah fashion yang memperlihatkan sosok Carrey Mulligan berdandan ala Daisy untuk ajang publikasi film tersebut. Si Pria kedua juga berada dalam list teman Saya. Rasa ingin tahunya akan film ini mungkin sudah terbayar. Zaman sekarang, bukankah mencari apapun lebih mudah melalui Internet.

Dan kemudian, Si Pria kedua itu ditembak mati serupa Jay Gatsby di akhir cerita. Setidaknya, dia ditembak mati dengan terpaksa dari pikiran Saya...

***

Si Pria ketiga. Ini cerita Sahabat Saya, dia sedang terlibat pergulatan batin dengan sahabat (lama)-nya. Singkat cerita-nya, sahabat dari sahabat Saya tersebut baru saja terbebas dari kungkungan masa lalu yang menurut dia menyebalkan dan menghambat hidupnya?. Setelah terbebas, lalu mampu meng-aktualisasikan diri sendiri hingga pada akhirnya mendapat pengakuan positif yang bertubi-tubi dari sosial, sahabat dari sahabat Saya tersebut mirip sekali dengan balita yang baru pertama kali dilepas orangtuanya lantaran sudah piawai berjalan. Balas dendam-nya akan masa lalu satu persatu dia lancarkan dan untungnya berhasil, tanpa Saya pernah tahu bagaiaman cara dia melancarkan serangannya tersebut.

Keterlalu bebasannya akan keberhasilan meraih apa yang tak bisa ia raih di masa lalu, jatuh pada satu titik dimana tingkah dan obrolannya kepada sahabat Saya sedikit berbeda dari yang dulu. Sahabat Saya yang memang orangnya sedikit iseng, menerima perlakuan sedikit berbedanya tersebut dengan lapang dada. Malahan sahabat Saya tersebut kerap membuat obrolan tentang seks dan pergumulan dengan sahabatnya itu setelah kejadian itu. Hingga waktu berjalan, sahabat dari sahabat Saya tersebut sampai mengalami pergumulam seks dengan sahabat Saya di mimpi. Bias sekali, antara nafsu dan perasaan sayang.

Dibalik T-Shirt tanpa lengan berwarna maroon yang menyembulkan otot-otot di lengannya, si Pria ketiga ini masih sibuk dengan kegiatan-kegiatan aktualisasi untuk dirinya sendiri yang kerap ia bagikan ke social media. Sahabat Saya ini untung kepribadiannya santai, meskipun masih di dera pergumulatam batin antara hanya nafsu ataukah benar-benar sayang, dia masih setia mendengar setiap keluh kesah sahabatnya tersebut.

"Saya enggak pernah habis pikir deh, sama sahabat Saya itu" Ujar sahabat Saya saat kami bertemu dan mengobrol tentang sahabatnya itu.

"Lah, kenapa?. Dia khan Mr. perfect. Haha" Saya terkekeh.

"Enggak habis pikir, aja. Dulu pas masih belum sekeren sekarang, suka ngedumel soal hubungannya dia yang sering banget dikecewain," Beber sahabat Saya. "Nah, sekarang, udah suka ganti-ganti pasangan seks yang kebanyakan dengan sesama Mr. perfect juga, dia masih aja ngedumel. Katanya capek lama-lama ngeseks mulu."

"Lhoh, dengan bentukannya yang udah perfect sekarang. Dia masih suka dikecewain toh?" Saya balik bertanya.

"Ya, enggak bisa dibilang gitu juga. Menurut Saya dan menurut cerita dari dia justru malah banyak yang dateng buat berusaha deket sama dia," Sambung sahabat Saya itu lagi.

"Terus kenapa dia masih aja ngedumel?. Kok udah perfect masih aja aneh gitu, toh?" Saya.

"Masalahnya itu. Dari banyakanya orang yang dateng buat berusaha deket sama dia, kebanyakan cuman minta seks. Ada sih, sebagian yang ngasih cinta. Tapi dia enggak mau. Katanya kurang perfect. Haha," Tawa sahabat Saya tersebut meledak. Saya menyambung tawanya kemudian. Di pertemuan Saya dengan Sahabat Saya itu, Saya memasukkan sahabat-nya dalam list si Pria ketiga.

Dada bubye, Pria Ketiga.

***

Saya sudah malas mengumpulkan berjuta-juta. Toh, bukankah dari ketiganya sudah mampu menyimpulkan berjuta-juta Pria dengan T-Shirt berwarna yang menyembulkan otot lengan mereka? (Silahkan cek dan berhitunglah, pasti kesepuluh jari kita masih kurang untuk menghitung pria-pria ini). Atau bisa juga karena rasa malas Saya untuk mengumpulkan berjuta-juta, justru sebenarnya masih ada pria yang tak terjamah dengan patriarki dan hegemoni diluar tiga orang tersebut?. Entahlah, bisa jadi mungkin ada.

Saya dan sahabat Saya sengaja menamai mereka Mr. Perfect. Bayangkan, massa komersial pasti mampu melihatnya sebagai tatanan yang sempurna. Dan Saya juga mengamini hal tersebut, karena memang yang mereka lakukan tidak salah. Ditilik dari segu Budaya, mungkin zaman sekarang memang lagi heboh-hebohnya budaya kebarat-kebarat'an. Dan Saya juga melihat hal ini bukan hal yang sepenuhnya salah, karena Saya sendiri juga memuja budaya barat. Dengan senantiasa berjelaga di modernitas, dan seiring semakin berkurangnya keekslusifan di dunia ini (yah, bisa jadi ini juga efek dari budaya kebarat-baratan tersebut) para Pria semakin berlomba-lomba untuk mendapatkan perawakan bak artis-artis barat. Didukung dengan hierarki bahwa status Pria lebih tinggi daripada wanita, maka semakin riuh pula pertandingan ini. Tapi, karena semakin berkurangnya keesklusifan yang didukung dengan semakin naik menjamurnya pusat-pusat kebugaran dengan harga terjangkau, mungkin sirkulasinya menjadi tidak terkondisikan. Pria-pria itu bagai militan dengan seragam yang sama tanpa beda dan cela, menghambut maju untuk mendapatkan apa yang mereka cari. Dan lagi-lagi itu memang tidak salah.

Sampai tulisan ini Saya tulis, masih ada satu pertanyaan mengganjal di benak Saya. Apa sih kira-kira yang mereka inginkan?, bukankah mereka sudah perfect?. Yah, dibalik pertanyaan itu, sebenarnya Saya kurang setuju dengan konseptual perfect pada manusia. Apa pertanyaan itu muncul lantaran saya terlalu kritis dan terlalu meng-apresiasi segala hal?. Atau, pertanyaan itu muncul karena mungkin Saya pernah ditolak salah satu Pria tersebut?. Atau mungkin, sebenarnya pertanyaan itu misteri yang bukan teka teki, sehingga tak perlu dicari jawabannya?. Entahlah, segala kemungkinan bisa terjadi. Yang terpenting, Saya sudah terlalu capek jika harus menemui berjuta-juta Pria itu lagi.

*Tulisan ini bukan sebagai ajang Saya men-Judge secara sembarangan akan suatu hal. Hanya sekedar menyalurkan hobi baru Saya untuk mencoba sedikit bersikap kritis akan suatu hal, namun sambil tetap berada dalam lingkup kehidupan (hal) tersebut dan menikmatinya.

Senin, 29 Oktober 2012

Playful Quirky

So, last friday my friends Danastri invited me to help of her mid-test work for Photography-Major. And we decided to goes to Gembira Loka Zoo. Its fun to be there, and Gembira Loka looks so fancy and interesting after the renovation like this day.

Not just for helps her mid-test work, i made this little photo-shoot for my lookbook, too hehehe. And yes, i'm addicted of the quirky style and life-style like my outfit :DD.



the another bunch of the picture :D,











Selasa, 23 Oktober 2012

Notes from Eid Mubarak #2

Puasa terakhir bersama sahabat ter-awet
Hari kedua kepulangan saya ke Surabaya menjelang lebaran (yang juga merupakan hari terakhir puasa di tahun ini) lebih banyak saya habiskan di luar rumah. Ya, alasan lain ketika pulang ke Surabaya selain rindu rumah adalah saya juga merindukan atmosfir nyata dari kota yang sudah sejak kecil saya tempati ini. Kehadiran seorang sahabat, juga mengisi celah rindu saya akan kota ini. Salah satu sahabat yang selalu tak pernah absen untuk bertemu saat saya pulang tentu saja Bismaputra Jayasujana, dia bisa dikatakan sahabat terlama dan ter-awet yang saya miliki hingga kini masih berpijak. Bukan tanpa masalah, bukan tanpa konflik ataupun drama, saya percaya kata-kata terlama dan ter-awet selalu menghadirkan ketiganya hingga akhirnya terlama dan ter-awet muncul ke permukaan antara kami berdua :).

Karena cukup jarang dan sudah lamanya kami berdua-benar-benar hanya berdua berjalan bersisihan untuk menikmati kota Surabaya, agenda hari itu saya (kami) isi dengan hanya pergi berdua (yes, kita teramat sangat merindukan bisa keluar berdua dan mengobrol tentang apapun, atau mungkin sedikit ber-nostalgia seperti dulu, saat sebelum saya hijrah untuk  kuliah ke Yogyakarta). Tujuan kami tak muluk-muluk, masih di seputaran tengah kota pada sebuah pusat perbelanjaan yang bisa dibilang masih seumur jagung di kota ini, Grand City. Agenda lain yang saya rencanakan juga cukup berhasil di hari itu, sengaja tidak puasa di hari terakhir bulan ramadhan ini hehe. Sebenarnya cukup sayang, hampir sebulan ini perut dan diri sendiri cukup mampu menahan nafsu yang diwajibkan kepada tiap umat muslim di bulan Ramadhan ini.

Calais Grand City Surabaya
Singkat cerita, kami mendaratkan pijakan pertama kaki kami disebuah kedai minuman dengan interior yang cukup klasik, bernama Calais. Dengan icon Moustache yang bisa dibilang menjadi "the it icon/sign" beberapa musim belakangan, saya dengan pasrah melepas dosa saya untuk kembali meluap di hari terakhir itu XD. Segelas taro milk tea sudah ditangan dan siap diteguk oleh dosa saya haha, minuman atau makanan dari ubi ungu itu belakangan menjadi favorit saya belakangan ini. 

Di kedai ini, sebenarnya juga menyediakan atribut "kumis" dan topi ala Charlie Chaplin untuk customernya yang ingin mengabadikan kunjungannya di kedai itu. Namun, karena kami berdua tipikal orang yang moody dan tidak seberapa suka mengabadikan kunjungan yang sekedar hanya jalan-jalan seperti ini (moody juga berpengaruh disini), maka kami menggantinya dengan saling mengedar kalimat antara kami berdua yang mungkin bisa dibilang tujuan utama kami berdua untuk mengisi Quality Time itu :). 

Taro Milk Tea
Moustache and Hat "Calais"
Pemberhentian kedua, kami mendaratkan diri di sebuah kedai makanan (masih di dalam mall yang sama). Setelah sebelumnya mengisi dahaga untuk si kerongkongan, kali ini kami memilih untuk memberi asupan untuk si perut. Saya lupa apa nama tempatnya >.<, di meja itu kami menikmati makanan dan masih dengan tambahan bertukar cerita. Mungkin saya terbilang manusia klasik, meskipun teknologi menghadirkan begitu banyak kemudahan komunikasi jarak jauh, saya lebih menikmati mengobrol langsung secara empat mata. Karena menurut saya teknologi itu terbatas, twitter hanya menyediakan 140 karakter dan berbagai kesalah pahamannya(?) :D. Instant messenger?, tak lebih dari sarana hiburan mungkin, karena bukankah mengobrol juga butuh atmosfir nyata?. Atmosfir nyata yang mungkin bisa menyatukan antara obrolan joke dan obrolan santai :D.  

Sebelum akhirnya petang menjelang, kami berdua kembali singgah di sebuah kedai kopi untuk menghabiskan sore hari, lagi-lagi masih di mall yang sama. Masih saja bertukar kata sambil menghabiskan dua kotak rokok masing-masing dari kami yang kesadarannya telah dibunuh karena obrolan kami berdua :). It's a simple way, tapi darisana mungkin saya (kami) masih bisa merasakan esensi dari persahabatan kurang lebih tujuh tahun yang telah terjalin. Hingga hari itu, pemberhentian terkahir kami menepi di sebuah stasiun radio. Menemani si sahabat dengan pekerjaan-nya sembari masih sibuk dengan kuliahnya. Mungkin sebelas dua belas dengan menghabiskan hari dengan pacar, tapi toh sahabat itu juga butuh hati dan cinta. Selain butuh diri sendiri, sahabat sejatinya mampu mengisi celah (yang masih kosong) di departemen pacar atau kekasih di negara hati dan cinta :)). 

Jam sepuluh malam, rumah sudah kembali saya gumuli. Gaung takbir penanda berakhirnya Ramadhan menyeruak bergerombol di telinga. Puasa telah habis masa, Idul Fitri mengganti masa. Saat petang menuju dini hari, saudara-saudara mulai berdatangan dari luar kota. Idul Fitri seperti sudah mulai menyatukan kembali apa yang sempat terpisah dengan jarak selama setahun kemarin :).